Secara umumnya
sikap sombong itu adalah dilarang dalam agama.
Dalam satu hadith
riwayat Muslim (no. 275) daripada Ibn Mas'ud radhiallahu'anhu daripada Nabi
shallallahu'alaihiwasallam, sabda Baginda:
" لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ
كِبْرٍ " .
Tidak akan masuk ke
dalam syurga sesiapa yang di dalam hatinya ada seberat zarah daripada sifat
sombong.
قَالَ
رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ
حَسَنَةً .
Seorang sahabat
bertanya: Sesungguhnya ada orang suka memakai pakaian dan kasut yang elok.
قَالَ
" إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ
Baginda menjawab:
Sesungguhnya Allah itu cantik dan menyukai kecantikan.
الْكِبْرُ
بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ " .
Sombong itu adalah
menolak kebenaran dan merendahkan manusia.
Di dalam hadith
tersebut, Baginda shallallahu'alaihiwasallam menunjukkan kepada dua jenis
kesombongan, iaitu:
1- Sombong hingga
menolak kebenaran.
2- Sombong dengan
merendah-rendahkan orang lain.
Tetapi terdapat
jenis sombongan yang dibenarkan. Antaranya:-
1. Kesombongan di depan pasukan orang
kafir ketika perang, untuk menghinakan mereka.
Pada saat perang
uhud, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menawarkan sebuah pedang untuk para
sahabatnya,
“Siapa yang mau
mengambil pedang ini dengan menunaikan haknya?”
Kemudian Abu
Dujanah bertanya, “Apa haknya Ya Rasulullah?”
“Engkau menebas
leher-leher musuh sampai mereka terpukul mundur.” Jawab Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Kemudian
berangkatlah Abu Dujanah, dan dia berjalan menunjukkan keangkuhannya di depan
pasukan musyrikin. Melihat itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkomentar,
إِنَّهَا
مِشْيَةٌ يُبْغِضُهَا اللَّهُ إِلا فِي هَذَا الْمَوْضِعِ
Ini cara berjalan
yang dibenci Allah, kecuali jika dilakukan di tempat seperti ini (jihad). (HR.
at-Thabarani, Mu’jam al-Kabir no. 6508-dhaiful isnad).
Dalam riwayat di
atas, Rasulullah mengizinkan berjalan dengan gaya lagak, lalu menunjukkan
bolehnya sombong saat perang.
فَأَمَّا
الْخُيَلاَءُ الَّتِى يُحِبُّ اللَّهُ فَاخْتِيَالُ الرَّجُلِ نَفْسَهُ عِنْدَ
الْقِتَالِ
“Adapun kesombongan yang dicintai Allah adalah
kesombongan seorang lelaki pada saat perang…” (HR. Abu Daud no. 2659, Ahmad
5/446, an-Nasaie 5/78, ad-Darimi 2/149- hasan)
Al-Qarafi dalam
“Anwar Al-Buruq” bahkan menegaskan bahwa sombong dalam perang hukumnya bukan
hanya boleh atau dianjurkan tetapi wajib.
Sombong dalam
perang itu justru bermanfaat untuk jihad, Islam dan kaum muslimin. Menyombongi
orang kafir dalam medan jihad akan membuat Islam menjadi mulia, memacu semangat
mujahidin, mematahkan semangat orang-orang kafir dan menimbulkan ketakutan
serta kegentaran pada hati mereka (Aunul Mabud 6/91/ Terj. Raudhatul Muhibbin
hal. 16).
2. Kesombong ketika bersedekah
Dasarnya adalah
sambungan dari hadith di atas,
فأمّا
الخُيَلاءُ الَّتي يُحِبُّ اللهُ فاختيالُ الرَّجُلِ نَفْسَهُ عند القتالِ،
واختيالُهُ عند الصَّدقةِ
Adapun kesombongan yang dicintai Allah adalah
kesombongan seorang lelaki pada saat perang) dan kesombongannya saat
bersedekah…” (HR. Abu Daud no. 2659, Ahmad 5/446, an-Nasaie 5/78, ad-Darimi 2/149-
hasan)
Sombong pada ketika
bersedekah ini janganlah disalah fahami. Maksud sombong pada saat bersedekah
bukan berbangga-bangga dan mempamerkan kepada manusia kerana sedekahnya, tetapi
maksudnya adalah sombong terhadap harta yang dikeluarkan itu. Dia tidak
mengendaklan sama sekali jumlah harta yang dia sedekahkan, merasa tidak perlu
kepadanya dan menghinakannya sehingga dia sama sekali tidak berasa sayang
ketika mengeluarkannya. Pada saat dia mengeluarkan dengan jumlah banyak
sekalipun rasanya masih terasa sedikit saja. Dalam batinnya seakan-akan dia
berkata, “kalaupun aku memberi banyak, yang diberikan Allah kepadaku masih jauh
lebih banyak, dan aku yakin yang disimpankan Allah untukku jauh lebih banyak
lagi”. Ini mendorong mereka memberi sedekah dengan rasa yang ikhlas agar orang
lain boleh mencontohi perbuatannya. (Aunul Mabud 6/91; Terj. Washya Luqmanul
hakim min al-Kitab wa as-Sunnah hal. 130).
Rujukan
http://irtaqi.net/2017/12/01/kapan-boleh-sombong/
Majdi Muhammad
as-Syahawi. 2007. Washya Luqmanul hakim min al-Kitab wa as-Sunnah hal 130.
Terj. Gema Insani, Depok.
Ibnu Qayyim
al-Jauziyah, 2016. Raudhatul Muhibbin hal. 16. Terj. Qisthi Press, Jakarta.
https://majles.alukah.net/t72230/
No comments:
Post a Comment